Minggu, 05 Januari 2014

Parafrase Puisi "Sia-Sia"

  Parafrase atau parafrasa adalah pengungkapan kembali suatu tuturan bahasa ke dalam bentuk bahasa lain tanpa mengubah pengertian. Pengungkapan kembali tersebut bertujuan untuk menjelaskan makna yang tersembunyi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, parafrasa adalah penguraian kembali suatu teks (karangan) dalam bentuk (susunan kata) yang lain, dengan maksud untuk dapat menjelaskan makna yang tersembunyi. salah satu contoh Parafrase sajak yang saya coba buat adalah sajak "sia-sia" oleh Chairil Anwar.
Inget, Stop COPAS yoooo

SAJAK 
Sia-sia
Oleh: Chairil Anwar

Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci.
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.


Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

a)   Parafrase Puisi "Sia-Sia" Karya Chairil Anwar
Puisi tersebut bercerita tentang seseorang yang datang pada sang penyair dengan membawa karangan kembang yang melambangkan sebuah tawaran cinta, "Penghabisan kali itu kau datang membawa karangan kembang". Sebuah cinta yang begitu dalam dan suci yang hanya diberikan kepada sang penyair dengan penuh harapan tertuang dalam larik puisi “Mawar merah dan melatih putih: darah dan suci”. Sebuah tawaran cinta yang tulus untuk penyair.
Sebuah cinta yang membutuhkan kepastian dari penyair , sebuah harapan agar sang penyair mau menerima tawaran cinta yang tulus “Kau tebarkan padaku, serta pandang yang memastikan:untukmu”. Chairil ternyata tak begitu saja mengatakan “ya” Untuk sebuah cinta, bahkan dia harus bertanya apakah arti semua ini? “Sudah itu kita sama termangu, saling bertanya: Apakah ini?”. Cinta? Bagaimana mungkin Chairil Anwar tak bisa memaknai arti sebuah cinta? Itu adalah sebuah cinta yang ditawarkan padanya. “Keduanya tak mengerti” ada sesuatu yang bergelut di hati penyair dan keduanya tak bisa mengerti, bagaimana mungkin ini sebuah cinta? Ada keraguan di hati penyair, dia tak bisa menyadari kehadiran cinta di hatinya.
“Seharian bersama. Tak hampir-menghampiri” larik tersebut telah mengambarkan begitu banyak waktu yang harus dihabiskan untuk memaknai sebuah cinta. Penyair tak mengungkapkan apapun dan hanya berdiam diri satu sama yang lain. “Ah! hatiku yang tak mau memberi” sebuah keputusan yang sebenarnya sulit untuk diucapkan namun penyair tak mau memberi atau membagikan cintanya kepada wanita yang telah menawarkan banyak cinta. “Mampus kau dikoyak-koyak sepi” sebuah akhir yang terasa kejam, mungkin itulah makna pada larik tersebut. Penyair lebih suka sendiri dalam kesepiannya dan menghapus dalam-dalam rasa cinta itu. Tampak tak ada penyesalan dan kesedihan atas penolakan akan cinta.





b)       Maksud Puisi
Unsur-unsur Intrinsik Puisi
  1. Tema
Dari puisi di atas saya berpendapat bahwa temanya adalah perbuatan yang tiada gunanya. Hal itu dapat dilihat dari bait kedua “Lalu kita sama termanggu/saling bertanya: apakah ini/cinta? Kita berdua tak mengerti.
  1. Nada
Nada dari puisi di atas adalah nada penolakan akan sebuah cinta. Cinta yang tulus kepada “aku” ditolak. Hingga akhirnya “aku” menyesali perbuatannya.
  1. Rasa
Dalam sajak “Sia-Sia” di atas, terasa bahwa penyair sedang dalam keadaan bingung tapi pasti. Artinya perasaan bahwa cinta di dalam hati itu ada tetapi baik “aku” atau penyair maupun “kau” gadis yang ada dihadapan “aku” tidak mampu mengungkapkan sesuatu yang bergejolak di hati masing-masing. Karena apa yang ditawarkan “kau” gadis itu lewat gaya dan penampilan yang mempesona kepada “aku” sesuatu yang tak boleh dilakukan. Akhirnya mereka berdua hanya berdiam diri saja, tanpa ada kata-kata yang terucap, tanpa ada komunikasi yang dapat mencairkan suasana. Selain itu di akhir puisi, tokoh “aku” merasa kesepian setelah menolak “kau”.
  1. Diksi
Sajak karya Chairil Anwar mampu memberikan imajinasi yang kuat dan membangkitkan kesan yang berbeda. Seperti pada pernyataan berikut “Penghabisan kali itu kau datang” kata penghabisan dipilihnya karena terasa lebih indah dan dalam daripada kata terakhir walaupun sama artinya. Setelah kalimat ditulisnya “membawa kembang berkarang”, kata kembang berasal dari bahasa sunda yang artinya bunga. Sudah menjadi hal yang biasa khususnya di dalam karya sastra seorang gadis itu dilambangkan dengan bunga.
“Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri.” Dari lirik itu jelas bahwa si “aku” melakukan pertemuan dengan kekasihnya. Tetapi ketika sedang berjumpa itu, mereka tidak saling menyapa, yang ada hanya saling berdiam diri saja. Tetapi diakhir bait si “aku” seakan-akan menyesal dengan perlakuannya terhadap gadis tersebut “Ah! Hatiku yang tak mampu memberi”. Akhirnya si “aku” mengutuki dirinya sendiri dengan kata “Mampus kau dikoyak-koyak sepi”.
  1. Gaya Bahasa
Pada  bait satu dan dua puisi Penghabisan kali itu kau datang, Membawa kembang berkarang mengandung majas simbolik, karena gaya bahasa kiasan untuk melukiskan sesuatu dengan menggunakan benda–benda sebagai simbol atau perlambang. Bait tiga, empat dan lima yang berbunyi “Mawar mewah dan melati putih”, “Darah dan suci” dan “Kau terbarkan depanku” mengandung majas alegori, karena majas ini gaya bahasa yang mengungkapkan beberapa perbandingan yang bertaut satu dengan yang lain dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Bait keenam yang berbunyi “Serta pandang yang memastikan: untukmu” mengandung majas perifrasis, karena majas ini gaya bahasa penguraian sepatah kata diganti dengan serangkaian kata yang mengandung arti yang sama.
Selanjutnya, bait tujuh, delapan dan sembilan yang berbunyi “Lalu kita sama termangu”,Saling bertanya: apakah ini?” dan “Cinta? Kita berdua tak mengerti” mengandung majas retoris, karena berupa pertanyaan yang tidak menuntut suatu jawaban. Bait sepuluh yang berbunyi “Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri” mengandung majas eufimisme, karena majas ini menyatakan sesuatu dengan ungkapan yang lebih halus. Dan, bait yang terakhir yaitu bait sebelas dan duabelas yang berbunyi “Ah! Hatiku yang tak mau memberi”, “Mampus kau dkoyak-koyak sepi” mengandung majas hiperbola, karena majas ini mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Pada kata “Ah! Hatiku yang tak mau memberi/Mampus kau dikoyak-koyak sepi” penyair menggunakan kata mampus semata-mata memberikan gambaran bahwa si “aku” benar-benar sedang dalam keadaan kesepian, kesunyian, penderitaan, tetapi Chairil Anwar tetap memilihnya, dan dia menistakan dirinya karena memilih perbuatan itu.
  1. Rima
Chairil Anwar kadang kalanya tidak memperhatikan masalah rima, ia merupakan penyair yang memberikan kebebasan dalam menciptakan sajak. Tetapi dalam sajak ini terlihat rimanya, karena walau bagaimanapun rima dalam sebuah sajak dapat menambah keindahan sajak tersebut. Pada bait pertama pola rima aa, ii, uu. Pada bait kedua pola rimanya u, i, i.
  1. Imajinasi
Penyair selalu berusaha memberikan gambaran tentang apa yang diungkapkannya itu dengan kekuatan imajinasi. Dengan pilihan katanya Chairil Awar berusaha menggugah kemampuan melihat. Pembaca atau penikmat diajaknya seakan-akan melihat si “aku” bertemu dengan kekasihnya. Di depan “aku” gadis itu menebarkan pesona kecantikannya dan mereka saling pandang memandang. Gambaran ini dinyatakan pada bait pertama.
  1. Konkret
Dilihat dari unsur lain yaitu kata-kata konkret pada sajak ini menurut penulis kata kongkritnya terdapat pada kata tak hampir menghampiri.Dari pernyataan yang singkat ini mampu mengkonkretkan atau memberikan gambaran yang jelas tentang suasana “aku” dengan kekasihnya yang bersama-sama tetapi saling diam.
Unsur ekstrinsik puisi
  1. Topografi
Pada puisi sia-sia, tipografi yang digunakan penulis cukup unik, tidak terikat oleh bait dan larik. Puisi ini terdiri dari empat bait. Bait pertama terdiri atas enam larik, bait kedua terdiri dari tiga larik, bait ketiga satu larik dan bait terakhir terdiri dari dua larik.
Selain bait dan larik, pada puisi tersebut terdapat unsur non bahasa lain, tanda baca seperti: tanda seru (!), titik(.), titik dua(:). Hal lain yang dapat dikaji adalah segi sintaksis. Struktur sintaksis pada kalimat berbeda dengan puisi. Pada puisi strukturnya cenderung tidak beraturan. Polanya sendiri dibagi menjadi dua bagian:
  • Infrastrukturasi, kaidah-kaidah bahasa diabaikan
  • Suprastrukturasi, pola tertentu diulang-ulang sehingga terjadi keteraturan tambahan.
Pada puisi sia-sia, struktur sintaksisnya termaksud dalam infrastrukturasi. Karena dalam puisi tersebut terdapat beberapa larik yang menunjukkan adanya inversi. Contohnya:
... ... ...
Membawa karangan kembang
... ... ...
Saling bertanya: apakah ini?
... ... ...
Mampus kau dikoyak-koyak sepi

Selain pola inversi, terdapat beberapa larik yang susunan sintaksisnya sesuai dengan kaidah kebahasaan. Seperti:
  1. Kau terbarkan depanku (larik 5 bait 1)
S                     P        Ket.
  1. Sehari itu kita bersama (larik 1 bait 3)
                 Ket       S       P
  1. Hatiku yang tak mau memberi (larik 1 bait 4)
                 S                            P
Sedangkan pola suprastrukturasi tidak terdapat dalam puisi ini, karena tidak terdapat bentuk pengulangan.
  1. Tempat Penulisan
Tempat penulisan puisi “sia-sia” tidak tercantum.
  1. Waktu Penulisan
Puisi yang berjudul “sia-sia” ini ditulis pada tahun Februari 1943.
  1. Nama Penulis
          Puisi tersebut ditulis oleh Chairil Anwar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar