Hari Raya Nyepi adalah hari raya
umat Hindu
yang dirayakan setiap tahun Baru Saka.
Hari ini jatuh pada hitungan Tilem
Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang
berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air
hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap Mereka.
Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktifitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan
Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana
Alit (alam manusia/mikrokosmos) dan Bhuana Agung/makrokosmos (alam semesta). Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan atau aktifitas
seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata Penyepian”
yang terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan
atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan
(tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan).
Serta bagi yang mampu melaksanakan tapa, brata, yoga dan semadhi.
Pelaksanaan hari raya keagamaan Nyepi yang sangat unik bagi
umat Hindu khususnya di Bali ini, umumnya dilaksanakan hanya sekali yaitu
sehari penuh selama 24 jam dalam satu tahun. Tetapi berbeda dengan Nyepi yag
dilaksanakan oleh masyarakat di wilayah ujung timur pulau Bali yakni tepatnya
di Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Pelaksanaan Nyepi di
wilayah desa tersebut malah berlangsung lebih dari sekali, sampai tiga kali
dalam satu tahun. Lokasi Desa Ababi berada di sebelah utara objek wisata
Taman Tirta Gangga, sekitar 15 km dari kota Amlapura menuju arah utara jalan
menuju Kota Singaraja.
Masyarakat setempat melaksanakan Nyepi sebanyak tiga kali
dalam satu tahun yakni Nyepi Purusa
dan Nyepi Pradana (Nyepi Muani dan Nyepi Muani). Purusa sinonim dari laki dan Luh berarti perempuan. Pelaksanaan kedua
Nyepi Muani dan Nyepi Luh juga berlangsung setiap satu tahun
sekali, tetapi waktu pelaksanaannya berbeda. Pelaksanaan Nyepi Purusa dan Nyepi Luh mendahului dengan hari Nyepi dalam pergantian tahun baru Caka.
Demikian halnya pelaksanaan antara Nyepi Luh
dan Nyepi Muani waktunya juga berbeda.
Nyepi Luh dilaksanakan pada hari kajeng tilem sasih kapitu (bulan mati
ketujuh perhitungan Bali) terkait dengan digelarnya upacara agama piodalan di
Pura Kedaton Desa Adat Ababi, sedangkan hari Nyepi Muani dilaksanakan dalam tempo waktu sebulannya lagi, tepatnya pada
hari tilem sasih kaulu (bulan mati
kedelapan perhitungan Bali).
Pelaksanaan hari Nyepi Luh
baru diberlakukan keesokan harinya setelah puncak upacara piodalan di Pura
Kedaton Desa Ababi. Sebelum pelaksanaan atau perayaan hari raya Nyepi Luh dilaksanakan, masyarakat setempat
melaksanakan beberapa upacara sebagai berikut.
-
Menghaturkan ajengan takepan yang berisi olahan
yang dibungkus dengan janur.
-
Majukung-jukungan
(menghanyutkan jukung ke sungai
sebagai simbolis melasti).
-
Mempersembahkan banten-banten sesajen
dan pacaruan yang meliputi:
ü Caru
godel pagerwesi (kaki buras)
ü Kucit
butuan (babi yang baru lahir
berkelamin laki-laki)
ü Ayam
putih kumelanjar (warna putih kuning,
putih tulus)
Menjelang Ngusaba,
bagi pemilik godel jantan dilarang menelusuk. Tujuannya, untuk memilih,
siapa tahu ada di antara godel jantan
milik warga memenuhi syarat untuk caru, istilahnya kaciren. Beberapa hari menjelang Ngusaba, pemilik godel jantan
berkumpul dan membawa serta godelnya
itu ke areal depan (jaba) Pura Puseh untuk dilakukan pemilihan godel pagorsi.
Dulu, seekor anak sapi (godel) jantan
yang terpilih untuk hewan caru, biasanya dihaturkan oleh krama pemiliknya.
Namun, dengan perkembangan saat ini, di mana harga sapi cukup mahal, sejak tiga
tahun lalu si pemilik menghaturkan ke pura sebagian atau setengahnya lagi
dibayar pihak desa.
Begitu nasi kalesan
setelah dimohon terjadi prosesi memperebutkan (majurag) nasi takepan dan dibawa
pulang untuk disebarkan di areal sawah. Semua krama majurag, berusaha
mendapatkan nasi kalesan. Selain
untuk disebarkan ke sawah, pekarangan rumah, juga untuk disantap. Nasi kalesan itu dipercaya sebagai
berkah, yang bakal memberikan kemakmuran dan kesuburan bagi hasil pertanian,
terutama padi di mana sebagian besar wilayah desa merupakan persawahan subur
yang menghadirkan pemandangan indah berteras-teras di sekitar Tirtagangga.
Setelah serangkaian upacara tersebut, keesokan harinya para kaum perempuan
melaksanakan penyepian.
Pelaksanaan Nyepi hanya diberlakukan kepada kaum wanitanya
saja untuk semua golongan umur. Sehari setelah puncak Ngusaba di Pura Ulun Suwi di mana distanakan dan dipuja Dewi Sri
dilaksanakan nyepi istri/nyepi luh.
Pada hari ini semua kegiatan yang biasanya dikerjakan para wanita, seperti
berdagang, tidak boleh dilakukan. Para wanita tidak bekerja, dalam rangka ngiring Ida Bhatari Sri masesanjan. Selain amati karya bagi wanita, juga dilakukan
amati geni, amati lelanguan (tak menggelar hiburan). Jika terpaksa,
bepergian (lelungan) diperbolehkan, tetapi tidak boleh melewati batas palemahan (lingkungan) desa.
Larangan tersebut hanya berlaku sehari 24 jam sama seperti
Nyepi pergantian tahun Caka, dimulai pada pagi hari saat mata hari mulai terbit
sampai keesokan harinya saat matahari mulai terbit kembali sekitar pukul
06.00 wita. Pelaksanaan Nyepi ditandai dengan suara kulkul (kentongan) desa dan sembahyang bersama di Pura Kedaton.
Saat itu bagi kaum wanita warga Desa Adat Ababi yang baru menempuh
mahligai rumah tangga, bertempat di Pura tersebut mereka langsung
dikukuhkan oleh pengurus desa adat sebagai krama
pengarep (anggota utama) baru Desa Adat Ababi.
Berbeda dengan Nyepi Luh, Nyepi Muani
dilaksanakan terkait dengan digelarnya upacara agama Usaba di Pura Dalem. Siwa sebagai manifestasi Tuhan yang
distanakan dan dipuja di Pura Dalem, dipersonifikasikan sebagai purusa, sehingga yang ngiring masesanjan pun kalangan lelaki.
Untuk Nyepi Muani, masyarakat
setempat melaksanakan beberapa upacara sebagai berikut.
-
Menghaturkan ajengan takepan yang berisi olahan
yang dibungkus dengan janur.
-
Majukung-jukungan (menghanyutkan jukung ke sungai sebagai simbolis
melasti).
-
Mempersembahkan banten-banten sesajen
dan pacaruan yang meliputi:
ü Caru
godel pagerwesi (kaki buras)
ü Kucit
butuan (babi yang baru lahir
berkelamin laki-laki)
ü Ayam
putih kumelanjar (warna putih kuning,
putih tulus)
-
Setelah banten dipuput oleh pemangku,
kaum perempuan mejurag (merebutkan)
Nasi Takepan tersebut.
-
Asu
(anjing belang bungkem).
-
Melaksanakan persembahyangan bersama.
Setelah
serangkaian upacara tersebut, keesokan harinya para kaum perempuan melaksanakan
penyepian.
Pelaksanaan Brata (larangan) Nyepi Muani sama seperti Nyepi Luh, hanya saja Nyepi ini berlaku bagi
kaum prianya saja dari semua golongan umur. Mereka melakukan brata penyepian sehari setelah puncak
upacara di Pura Dalem, dan setelah melaksanakan persembahyangan bersama di Pura
tersebut. Saat nyepi muani berlangsung, lelaki amati karya, seperti tidak bekerja ke sawah atau ladang.
Pelaksanaannya pun hampir sama (dengan nyepi istri), cuma kali ini yang giliran
melaksanakan penyepian yakni para lelaki.
Mengenai sanksi hukum bagi masyarakat yang melakukan
pelanggaran brata penyepian, menurut
Jero Mangku Made Darta salah satu tokoh masyarakat Ababi yang ditemui penulis,
sampai saat ini belum ada sanksi hukum yang tertuang dalam awig-awig (peraturan desa), karena memang belum pernah ada yang
melanggar, kalaupun ada masyarakat yang terbukti melanggar hanyalah dikenai
sanksi sosial saja.
Kata Beliau pada zaman penjajahan Jepang, pernah
sekali tradisi ini tidak dilaksanakan. Ngusaba
dan pacaruan di Pura Ulun Suwi
setempat absen diadakan. Hal tersebut dikarenakan saat itu, perekonomian amat
sulit, rakyat secara kejam dilarang memakan nasi beras sedikit pun. Apa yang
terjadi? Kala itu, meskipun tanaman padi di sawah tampak subur dan bulir padi
tampak berisi dan merunduk, begitu dipanen ternyata puyung (bulirnya hampa). Dengan peristiwa itulah, krama desa Ababi tak berani lagi ngencakang aci Ngusaba (absen
melaksanakan Ngusaba). Makin tebal
pula kepercayaan masyarakat, bahwa begitu besarnya anugerah kemakmuran jika
umatnya bakti kepada hyang Widhi.
Masyarakat Desa Adat Ababi dalam mengapresiasikan brata penyepian diekpresikan dalam
berbagai cara kegiatan sesuai dengan ajaran agama Hindu dan tradisi. Berdiam
diri di rumah masing-masing merenung mengintropeksi diri apa yang pernah
dilakukan sebelumnya yang perlu diperbaiki untuk masa depan yang lebih baik
lagi. Sehari setelah Nyepi, aktivitas upacara di masing-masing Pura Kedaton dan
Pura Dalem juga berakhir. Waktu tersebut digunakan oleh Warga Desa Ababi
saling mengunjungi antar keluarga/kerabat untuk mempererat tali persaudaraan.
Jero Mangku Made Darta mengatakan kepada penulis di
rumah kediamannya di Desa Ababi, tradisi budaya Nyepi Luh dan Nyepi Muani sudah
berlangsung sejak desa itu berdiri sekitar abad ke-11. Kata Jero Mangku Made
Darta, sampai saat ini belum ditemukan bukti tertulis berupa lontar atau bentuk
tulisan lainnya, hanya ada mitologi yang berkembang di masyarakat Desa Adat
Ababi, bahwa adanya hubungan ”perkawinan” suami-istri antara Ida Bathara yang
berstana di Pura Dalem (pihak suami) dan Ida Bathara yang berstana di Pura
Kedaton (pihak istri).
Lanjut dikatakan Bapak Jero Mangku Made Darta,
filosofi Nyepi di Desa Adat Ababi sama dengan Nyepi pada umumnya di Bali, yaitu
sebagai momentum untuk sujud bhakti kehadapan Hyang Widhi (Tuhan) dan sekaligus
introspeksi diri apa yang diperbuat sebelumnya akan menjadi lebih baik di masa
mendatang. Inilah wujud emansipasi wanita, para wanitanya memperoleh hak yang
sama dengan prianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar