Senin, 16 Desember 2013

PERAYAAN HARI RAYA NYEPI LUH DAN NYEPI MUANI

Hari Raya Nyepi  adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap Mereka.

Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktifitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/mikrokosmos) dan Bhuana Agung/makrokosmos (alam semesta). Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan atau aktifitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata Penyepian” yang terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu melaksanakan tapa, brata, yoga dan semadhi.
Pelaksanaan hari raya keagamaan Nyepi yang sangat unik bagi umat Hindu khususnya di Bali ini, umumnya dilaksanakan hanya sekali yaitu sehari penuh selama 24 jam dalam satu tahun. Tetapi berbeda dengan Nyepi yag dilaksanakan oleh masyarakat di wilayah ujung timur pulau Bali yakni tepatnya di Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Pelaksanaan Nyepi di wilayah desa tersebut malah berlangsung lebih dari sekali, sampai tiga kali dalam satu tahun. Lokasi Desa  Ababi berada di sebelah utara objek wisata Taman Tirta Gangga, sekitar 15 km dari kota Amlapura menuju arah utara jalan menuju Kota Singaraja.
Masyarakat setempat melaksanakan Nyepi sebanyak tiga kali dalam satu tahun yakni Nyepi Purusa dan Nyepi Pradana (Nyepi Muani dan Nyepi Muani). Purusa sinonim dari laki dan Luh berarti perempuan. Pelaksanaan kedua Nyepi Muani dan Nyepi Luh juga berlangsung setiap satu tahun sekali, tetapi waktu pelaksanaannya berbeda. Pelaksanaan  Nyepi Purusa dan Nyepi Luh mendahului dengan hari Nyepi dalam pergantian tahun baru Caka. Demikian halnya pelaksanaan antara Nyepi Luh dan Nyepi Muani waktunya juga berbeda. Nyepi Luh dilaksanakan pada hari kajeng tilem sasih kapitu (bulan mati ketujuh perhitungan Bali) terkait dengan digelarnya upacara agama piodalan di Pura Kedaton Desa Adat Ababi, sedangkan hari Nyepi Muani dilaksanakan dalam tempo waktu sebulannya lagi, tepatnya pada hari tilem sasih kaulu (bulan mati kedelapan perhitungan Bali).
Pelaksanaan hari Nyepi Luh baru diberlakukan keesokan harinya setelah puncak upacara piodalan di Pura Kedaton Desa Ababi. Sebelum pelaksanaan atau perayaan hari raya Nyepi Luh dilaksanakan, masyarakat setempat melaksanakan beberapa upacara sebagai berikut.
-            Menghaturkan ajengan takepan yang berisi olahan yang dibungkus dengan janur.
-            Majukung-jukungan (menghanyutkan jukung ke sungai sebagai simbolis melasti).
-            Mempersembahkan banten-banten sesajen dan pacaruan  yang meliputi:
ü  Caru godel pagerwesi (kaki buras)
ü  Kucit butuan (babi yang baru lahir berkelamin laki-laki)
ü  Ayam putih kumelanjar (warna putih kuning, putih tulus)
Menjelang Ngusaba, bagi pemilik godel jantan dilarang menelusuk. Tujuannya, untuk memilih, siapa tahu ada di antara godel jantan milik warga memenuhi syarat untuk caru, istilahnya kaciren. Beberapa hari menjelang Ngusaba, pemilik godel jantan berkumpul dan membawa serta godelnya itu ke areal depan (jaba) Pura Puseh untuk dilakukan pemilihan godel pagorsi. Dulu, seekor anak sapi (godel) jantan yang terpilih untuk hewan caru, biasanya dihaturkan oleh krama pemiliknya. Namun, dengan perkembangan saat ini, di mana harga sapi cukup mahal, sejak tiga tahun lalu si pemilik menghaturkan ke pura sebagian atau setengahnya lagi dibayar pihak desa.
Begitu nasi kalesan setelah dimohon terjadi prosesi memperebutkan (majurag) nasi takepan dan dibawa pulang untuk disebarkan di areal sawah. Semua krama majurag, berusaha mendapatkan nasi kalesan. Selain untuk disebarkan ke sawah, pekarangan rumah, juga untuk disantap. Nasi kalesan itu dipercaya sebagai berkah, yang bakal memberikan kemakmuran dan kesuburan bagi hasil pertanian, terutama padi di mana sebagian besar wilayah desa merupakan persawahan subur yang menghadirkan pemandangan indah berteras-teras di sekitar Tirtagangga. Setelah serangkaian upacara tersebut, keesokan harinya para kaum perempuan melaksanakan penyepian.
Pelaksanaan Nyepi hanya diberlakukan kepada kaum wanitanya saja untuk semua golongan umur. Sehari setelah puncak Ngusaba di Pura Ulun Suwi di mana distanakan dan dipuja Dewi Sri dilaksanakan nyepi istri/nyepi luh. Pada hari ini semua kegiatan yang biasanya dikerjakan para wanita, seperti berdagang, tidak boleh dilakukan. Para wanita tidak bekerja, dalam rangka ngiring Ida Bhatari Sri masesanjan. Selain amati karya bagi wanita, juga dilakukan amati geni, amati lelanguan (tak menggelar hiburan). Jika terpaksa, bepergian (lelungan) diperbolehkan, tetapi tidak boleh melewati batas palemahan (lingkungan) desa.
Larangan tersebut hanya berlaku sehari 24 jam sama seperti Nyepi pergantian tahun Caka, dimulai pada pagi hari saat mata hari mulai terbit sampai keesokan  harinya saat matahari mulai terbit kembali sekitar pukul 06.00 wita. Pelaksanaan Nyepi ditandai dengan suara kulkul (kentongan) desa dan sembahyang bersama di Pura Kedaton. Saat itu bagi kaum wanita warga Desa Adat Ababi  yang baru menempuh mahligai rumah tangga, bertempat di Pura tersebut mereka  langsung dikukuhkan oleh pengurus desa adat sebagai krama pengarep (anggota utama) baru Desa Adat Ababi.
Berbeda dengan Nyepi Luh, Nyepi Muani dilaksanakan terkait dengan digelarnya upacara agama Usaba di Pura  Dalem. Siwa sebagai manifestasi Tuhan yang distanakan dan dipuja di Pura Dalem, dipersonifikasikan sebagai purusa, sehingga yang ngiring masesanjan pun kalangan lelaki. Untuk Nyepi Muani, masyarakat setempat melaksanakan beberapa upacara sebagai berikut.
-            Menghaturkan ajengan takepan yang berisi olahan yang dibungkus dengan janur.
-            Majukung-jukungan (menghanyutkan jukung ke sungai sebagai simbolis melasti).
-            Mempersembahkan banten-banten sesajen dan pacaruan  yang meliputi:
ü  Caru godel pagerwesi (kaki buras)
ü  Kucit butuan (babi yang baru lahir berkelamin laki-laki)
ü  Ayam putih kumelanjar (warna putih kuning, putih tulus)
-       Setelah banten dipuput oleh pemangku, kaum perempuan mejurag (merebutkan) Nasi Takepan tersebut.
-       Asu (anjing belang bungkem).
-       Melaksanakan persembahyangan bersama.
Setelah serangkaian upacara tersebut, keesokan harinya para kaum perempuan melaksanakan penyepian.
Pelaksanaan Brata (larangan) Nyepi Muani sama seperti Nyepi Luh, hanya saja Nyepi ini berlaku bagi kaum prianya saja dari semua golongan umur. Mereka melakukan brata penyepian sehari setelah puncak upacara di Pura Dalem, dan setelah melaksanakan persembahyangan bersama di Pura tersebut. Saat nyepi muani berlangsung, lelaki amati karya, seperti tidak bekerja ke sawah atau ladang. Pelaksanaannya pun hampir sama (dengan nyepi istri), cuma kali ini yang giliran melaksanakan penyepian yakni para lelaki.
Mengenai sanksi hukum bagi masyarakat yang melakukan pelanggaran brata penyepian, menurut Jero Mangku Made Darta salah satu tokoh masyarakat Ababi yang ditemui penulis, sampai saat ini belum ada sanksi hukum yang tertuang dalam awig-awig (peraturan desa), karena memang belum pernah ada yang melanggar, kalaupun ada masyarakat yang terbukti melanggar hanyalah dikenai sanksi sosial saja.
Kata Beliau pada zaman penjajahan Jepang, pernah sekali tradisi ini tidak dilaksanakan. Ngusaba dan pacaruan di Pura Ulun Suwi setempat absen diadakan. Hal tersebut dikarenakan saat itu, perekonomian amat sulit, rakyat secara kejam dilarang memakan nasi beras sedikit pun. Apa yang terjadi? Kala itu, meskipun tanaman padi di sawah tampak subur dan bulir padi tampak berisi dan merunduk, begitu dipanen ternyata puyung (bulirnya hampa). Dengan peristiwa itulah, krama desa Ababi tak berani lagi ngencakang aci Ngusaba (absen melaksanakan Ngusaba). Makin tebal pula kepercayaan masyarakat, bahwa begitu besarnya anugerah kemakmuran jika umatnya bakti kepada hyang Widhi.
Masyarakat Desa Adat Ababi dalam mengapresiasikan brata penyepian diekpresikan dalam berbagai cara kegiatan sesuai dengan ajaran agama Hindu dan tradisi. Berdiam diri di rumah masing-masing merenung mengintropeksi diri apa yang pernah dilakukan sebelumnya yang perlu diperbaiki untuk masa depan yang lebih baik lagi. Sehari setelah Nyepi, aktivitas upacara di masing-masing Pura Kedaton dan Pura Dalem juga berakhir. Waktu tersebut digunakan oleh Warga Desa Ababi  saling mengunjungi antar keluarga/kerabat untuk mempererat tali persaudaraan.
Jero Mangku Made Darta mengatakan kepada penulis di rumah kediamannya di Desa Ababi, tradisi budaya Nyepi Luh dan Nyepi Muani sudah berlangsung sejak desa itu berdiri sekitar abad ke-11. Kata Jero Mangku Made Darta, sampai saat ini belum ditemukan bukti tertulis berupa lontar atau bentuk tulisan lainnya, hanya ada mitologi yang berkembang di masyarakat Desa Adat Ababi, bahwa adanya hubungan ”perkawinan” suami-istri antara Ida Bathara yang berstana di Pura Dalem (pihak suami) dan Ida Bathara yang berstana di Pura Kedaton (pihak istri).
Lanjut dikatakan Bapak Jero Mangku Made Darta, filosofi Nyepi di Desa Adat Ababi sama dengan Nyepi pada umumnya di Bali, yaitu sebagai momentum untuk sujud bhakti kehadapan Hyang Widhi (Tuhan) dan sekaligus introspeksi diri apa yang diperbuat sebelumnya akan menjadi lebih baik di masa mendatang. Inilah wujud emansipasi wanita, para wanitanya memperoleh hak yang sama dengan prianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar