HARMONISASI
INTERAKSI SOSIAL MELALUI BUDAYA SALAM OM
SWASTYASTU
Oleh
Ni
Luh Sadewi Widyani
Abstrak
Manusia adalah makhluk individu
sekaligus mahkluk sosial (soon politicon)
dalam hubungannya dengan sesama manusia dan sebagai salah satu penghuni bumi
ciptaan Tuhan. Manusia selalu berusaha untuk menjalin interaksi yang harmonis
dengan makhluk lain dan alam sekitarnya. Namun kadangkala dalam interaksinya
terjadi gesekan-gesekan yang dapat mengakibatkan adanya konflik. Salah satu
faktor penyebab ketidakharmonisan hubungan tersebut dapat disebabkan oleh
penggunaan bahasa yang digunakan baik itu ketika menyapa ataupun ketika
berinteraksi. Seringkali manusia khususnya para remaja menggunakan bahasa gaul
dalam menyapa lawan bicaranya sehingga menunjukkan kesan pertama yang tidak
sesuai. Dalam usaha untuk menjalin interaksi yang harmonis, manusia menciptakan
kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Kebudayaan yang
dimiliki Indonesia sangat berlimpah adanya yang mana hal tersebut merupakan
kekayaan yang dimiliki Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara lain di dunia.
Salah satu kebudayaan yang merupakan budaya luhur leluhur bangsa Indonesia
adalah budaya salam. Budaya salam sebagai sebuah ungkapan kepedulian akan
kehadiran seseorang merupakan kekayaan Indonesia sebagai bagian dari kehidupan
beragama manusia. Salam yang dimiliki umat Hindu salah satunya yang digunakan
ketika seseorang bertemu dengan orang lain ataupun dalam sebuah pertemuan adalah
salam panganjali Om Swastyastu. Dalam
salam Om Swastyastu, selain sebagai
sebuah salam untuk mengungkapkan kepedulian terhadap kehadiran seseorang juga
tersirat sebuah ungkapan doa agar pertemuan yang dilakukan selalu dalam keadaan
baik atas karunia-Nya.
Kata-kata
kunci: Interaksi sosial, budaya salam, om
swastyastu
1.
Pendahuluan
Sudah menjadi pemahaman umum, bahwa
manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial (soon politicon) dalam hubungannya dengan sesama manusia dan sebagai
salah satu penghuni bumi ciptaan Tuhan (Wiana, dkk., 2013). Situasi kehidupan
yang seperti itu menyadarkan manusia bahwa pada hakikatnya selain menjadi
individu yang tidak bisa diganggu gugat, manusia juga berinteraksi dengan
makhluk dan alam sekitarnya. Salah satu ciri manusia sebagai makhluk sosial
adalah hidup bersama dalam interaksi sosialnya. Maksud dari hidup bersama di
sini bukan hanya sekadar hidup berkerumun membentuk kelompok tetapi hidup dalam
suatu sistem yang sesuai untuk memadukan berbagai potensi yang ada dalam rangka
mencapai tujuan bersama.
Untuk mencapai tujuan bersama dalam
suatu sistem diperlukan adanya suatu interaksi atau hubungan baik secara vertikal
maupun horizontal. Dalam interaksinya, manusia akan membentuk berbagai jenis
kebudayaan termasuk di dalamnya budaya beragama. Salah satu agama yang
berkembang di Bali adalah agama Hindu. Agama Hindu merupakan sebuah agama yang
awalnya dijumpai di sebuah wilayah Hindustan (India Barat). Menurut Samba
(2013:134), dalam perjalanannya yang sangat panjang budaya Hindu berakulturasi
dengan budaya-budaya lokal yang dilewatinya. Budaya Hindu selalu
mengadaptasikan dirinya dengan perkembangan dan kemampuan nalar manusia,
berubah sepanjang zaman, menyesuaikan diri dan mengadaptasikan budaya-budaya
luhur setempat yang lebih dahulu ada. Hal tersebut mengakibatkan pelaksanaan
atau pengamalan agama Hindu di India berbeda dengan di daerah nusantara
Indonesia termasuk pula di Bali.
Salah satu kebudayaan Hindu yang
erat kaitannya dengan proses interaksi satu individu dengan yang lainnya di
Bali adalah budaya salam. Umat Hindu mengajarkan etika salam persaudaraan yang
disebut panganjali umat atau sudha wakya dengan ucapan maharasa Om Swastyastu yang dipergunakan
masyarakat ketika bertemu dengan orang lain ataupun saat mengawali suatu
kegiatan, dalam berbagai pertemuan. Salam tersebut diucapkan tidaklah sekadar
sebagai salam biasa, tetapi dibarengi pula dengan ungkapan doa.
Sebagai
sebuah kebudayaan yang telah ada sejak lama, seyogyanya budaya salam tersebut
dapat kita lestarikan. Namun, pada kenyataannya pelestarian budaya salam
tersebut semakin hari semakin mengalami penurunan. Tidak jarang masyarakat “acuh
tak acuh” ketika mendengar salam Om
Swastyastu dari orang lain pada sebuah pertemuan. Sangat disayangkan jika
umat Hindu mau membalas salam dari agama lain dengan penuh semangat tetapi
ketika mendengar salam agama sendiri seringkali tidak dihiraukan. Kasus lain
yang terjadi adalah telah tergantikannya salam Om Swastyastu dengan salam-salam yang tidak baku atau bersifat
“gaul” khususnya di kalangan remaja seperti kata “Hi Bro, What’s up Bro?”, “Hi Guys”,
“Hi Cuy”, dan masih banyak salam lainnya yang menjamur di negeri ini.
Salam-salam tersebut menyebar begitu cepat menggeser salam Om Swastyastu yang sejak lama menjadi kebudayaan umat Hindu.
Lunturnya
budaya salam tersebut sangat disayangkan mengingat selain sebagai ucapan salam,
Om Swastyastu juga mengandung unsur
sakral yang di dalamnya terdapat ungkapan doa agar pertemuan yang dilakukan
selalu dianugrahi oleh-Nya. Sikap “acuh tak acuh” seseorang terhadap orang lain
yang menyapanya hendaknya dihilangkan melalui penanaman sikap moral kepada umat
Hindu di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya.
2.
Hubungan
antar Manusia
Interaksi
sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan
sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan
individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun
antara kelompok dengan individu (Tanti, 2012). Sedangkan Bonner (dalam Wulan, 2013), hubungan atau
interaksi antar manusia adalah hubungan antara dua atau lebih individu manusia
dan perilaku individu yang satu mempengaruhi, mengubah, dan memperbaiki
perilaku individu lain atau sebaliknya. Dalam interaksi juga terdapat symbol
yang diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya
oleh mereka yang menggunakannya. Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua
individu atau kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial
merupakan tahap pertama dari terjadinya hubungan sosial Komunikasi merupakan
penyampaian suatu informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap
informasi yang disampaikan.
Menurut
Kimball Young dan Raymond W. Mack (dalam Zein, 2012), interaksi sosial adalah hubungan-hubungan
sosial yang dinamis dan menyangkut hubungan antara individu dengan individu,
individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Interaksi sosial
dapat terjadi apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a. Adanya
kontak sosial (social contact)
Kontak
berasal dari kata Con atau Cun yang berarti bersama-sama, dan Tango yang
artinya menyentuh. Jadi, secara harfiah kontak berarti saling menyentuh. Dalam
sosiologi kontak tidak hanya bersentuhan fisik saja, kadang-kadang bias terjadi
tanpa fisik, misalnya berbicara melalui telepon, menulis surat, dan internet. Kontak
hanya dapat berlangsung apabila kedua belah pihak sadar akan kedudukan atau
kondisi masing-masing. Untuk itu kontak memerlukan kerja sama dengan orang
lain. Di era globalisasi kontak dapat berlangsung dengan mudah dan cepat,
karena adanya kemajuan teknologi yang makin canggih. Misalnya dengan adanya
internet, HP, telepon, telegram, dan email.
Kontak
sosial dapat dibedakan sebagai berikut.
1) Berdasarkan
bentuk (wujud)
Berdasarkan bentuknya kontak dapat dibedakan menjadi berikut ini.
1) Kontak
antara individu dengan individu Contoh: Kontak antara guru dengan guru, orang
tua dengan anaknya, siswa dengan siswa lain, penjual dengan pembeli.
2) Kontak
antara individu dengan kelompok Contoh: Guru dengan murid-muridnya di kelas,
penceramah dengan peserta seminar.
3) Kontak
antara kelompok dengan kelompok Contoh: Pertandingan sepak bola antara dua tim
kesebelasan, pertandingan bola voli antara dua tim bola voli.
2) Berdasarkan
cara
Berdasarkan
caranya kontak dibedakan menjadi dua, yaitu berikut ini.
1) Kontak
langsung (primer), Kontak langsung yaitu hubungan timbal balik yang terjadi
secara langsung, contoh: berbicara, berjabat tangan, tersenyum, dan bahasa
isyarat.
2) Kontak
tidak langsung (sekunder), Kontak tidak langsung (sekunder) yaitu hubungan
timbal balik yang yang memerlukan perantara (media). Perantara/media yang
digunakan dalam kontak sekunder bisa berupa benda misalnya, telepon, TV, radio,
HP, surat, dan telegram atau bisa juga menggunakan manusia, misalnya seorang
pemuda meminang seorang gadis melalui orang lain.
3) Berdasarkan
sifatnya
Berdasarkan
sifatnya kontak sosial ada dua macam, yaitu berikut ini.
1) Kontak
positif yaitu kontak sosial yang mengarah kepada suatu kerja sama, misalnya
kontak antara pedagang dengan pembeli.
2) Kontak
negatif yaitu kontak sosial yang mengarah kepada suatu pertentangan, misalnya
kontak senjata antara dua negara yang sedang berperang.
b. Komunikasi
Komunikasi
adalah suatu proses penyampaian pesan (ide atau gagasan) dari satu pihak kepada
pihak lain agar terjadi saling memengaruhi di antara keduanya. Komunikasi
dibedakan menjadi dua, yaitu berikut ini.
a.
Komunikasi lisan (verbal), yaitu komunikasi
dengan menggunakan kata-kata (verbal) yang dapat dimengerti oleh kedua belah
pihak. Contoh: berbicara langsung dan melalui telepon.
b.
Komunikasi nonverbal (isyarat), yaitu komunikasi
dengan menggunakan gerak-gerik badan, bahasa isyarat, atau menunjukkan sikap
tertentu. Contoh: menggelengkan kepala, mengangkat bahu, dan melambaikan tangan.
Komunikasi dapat berlangsung apabila memenuhi syarat sebagai berikut.
a.
Ada pengirim (sender) yaitu pihak yang
mengirimkan pesan kepada pihak lain.
b.
Penerima atau komunikasi (receiver) yaitu pihak
yang menerima pesan dari pihak lain.
c.
Pesan (message) adalah isi atau maksud yang akan
disampaikan oleh setiap pihak kepada pihak lain.
d.
Umpan balik (feed back) adalah tanggapan dari
penerima pesan atau isi pesan yang disampaikannya.
Suatu
kontak bisa terjadi tanpa komunikasi, jika terjadi kontak tanpa komunikasi maka
tidak akan terjadi interaksi sosial. Misalnya, orang Jawa bertemu dengan orang
Batak, orang Jawa menyapa dengan bahasa Jawa, padahal orang Batak tidak
mengerti bahasa Jawa, maka komunikasi tidak akan terjadi. Komunikasi dapat
berdampak positif jika masing-masing dapat menafsirkan apa yang dimaksud.
Komunikasi juga bisa berdampak tidak baik apabila salah satu pihak tidak dapat
menafsirkan maksud pihak lain.
3.
Budaya
Salam
Kata
“Kebudayaan” berasal dari kata sanskerta buddhayah,
yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian
kebudayaan dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada
sarjana lain yang menghapus kata budaya sebagai suatu perkembangan dari kata
majemuk budidaya, yang berarti “daya dan budi”.
Karena itu mereka membedakan “budaya” adalah “daya dan budi” yang berupa
cipta, karsa, dan rasa itu.
Kata
culture merupakan kata asing yang
sama artinya dengan “kebudayaan”. Berasal dari kata Latin Colere yang berarti “mengolah, mengerjakan,” terutama mengolah
tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk
mengolah tanah dan mengubah alam (Koentjaraningrat, 2009:146). Menurut ilmu
antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar.
Indonesia
sebagai negara kepulauan patutlah berbangga karena memiliki berbagai macam
kebudayaan yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Kekayaan yang dimiliki
Indonesia dalam bentuk kebudayaan merupakan sesuatu yang sangat mahal harganya
bagi negara-negara lain di dunia. Menurut Samba (2013), budaya luhur leluhur
bangsa ini sangatlah berlimpah adanya, budaya yang sangat menghargai seni dan
keindaham, budaya yang sangat menghargai kesejukan dan kedamaian, budaya yang
sangat menghargai kehidupan dan cinta kasih, serta budaya yang menjunjung
tinggi perbedaan dan keberagaman, toleransi dan keadilan. Salah satu budaya
yang dimiliki oleh Indonesia adalah budaya salam yang diucapkan oleh seseorang
kepada orang lain dalam interaksinya.
Salam
adalah cara bagi seseorang (juga binatang) untuk secara sengaja
mengkomunikasikan kesadaran akan kehadiran orang lain, untuk menunjukkan
perhatian, dan/atau untuk menegaskan atau menyarankan jenis hubungan atau
status sosial antar individu atau kelompok orang yang berhubungan satu sama
lain. Seperti juga cara komunikasi lain, salam juga sangat dipengaruhi budaya
dan situasi dan dapat berubah akibat status dan hubungan sosial. Salam dapat
diekspresikan melalui ucapan dan gerakan, atau gabungan dari keduanya. Salam
sering, tapi tidak selalu, diikuti oleh percakapan.
4.
Makna
Salam Om Swastyastu
Om Swastyastu merupakan salah satu salam
(ucapan selamat jumpa) yang digunakan oleh umat Hindu. Salam ini biasanya
diucapkan ketika membuka sebuah kegiatan ataupun ketika bertemu dengan
seseorang (berkunjung ke rumah orang lain). Secara etimologis, salam maharasa Om Swastyastu berasal dari kata ‘OM’
yang artinya Hyang Widhi, ‘SU’ yang artinya baik, ‘ASTI’ yang artinya ada, dan
‘ASTU’ yang artinya semoga. Jadi Om
Swastyastu berarti semoga selamat atas wara nugraha Hyang Widhi (Wiana,
dkk., 2013:236). Menurut Kamus Bahasa Bali, kata “Swastyastu”
berasal dari kata suasti, yang berarti selamat, menjadi Suastiastu yang berarti semoga selamat. Kalimat tersebut mengandung makna untuk saling
mendoakan satu sama lain agar pertemuan yang terjadi selalu dikaruniai oleh
Hyang Widhi.
Berbeda
dengan di Bali, umat Hindu di India umumnya mengucapkan salam Om Namaskara ketika bertemu dengan orang
lain. Salam tersebut juga berarti hormat kepada sesama atas wara nugraha Hyang
Widhi. Meskipun salam atau sudha wakya umat
Hindu di Bali dan di India berbeda, namun makna yang terkandung di dalamnya
mempunyai arah yang sama. Nilai universal Weda harus diterapkan dengan kemasan
budaya lokal sehingga Weda selalu menghormati kearifan lokal yang adi luhung
sejalan dengan intisari ajaran Weda.
Menurut
Wiana, dkk. (2013), Om Swastyastu ataupun
Om Namaskara di India, salam
keakraban tersebut merupakan salah satu media untuk membangun pergaulan yang
disebut satsangga (pergaulan
berdasarkan Weda) dan menjauhi pergaulan Dursangga
(pergaulan yang bertentangan dengan Weda). Om Swastyastu kalau dimaknai dengan sungguh-sungguh akan membawa
umat harmonis dengan dirinya sendiri sebagai makhluk individu dan harmonis
dengan sesamanya sebagai makhluk sosial.
Dalam
pengucapan salam Om Swastyastu
diikuti dengan sikap tangan anjali (cakupan
kedua telapak tagan di depan dada dengan ujung jari merapat menjulur lembut ke
atas), sehingga salam ini juga dikenal dengan nama salam panganjali (Sudarma, 2010). Namun, jika keadaan tidak memungkinkan,
sikap ini boleh tidak dilakukan. Satu hal yang penting adalah ucapan atau sudha wakya Om Swastyastu diucapkan
dengan hati yang tulus. Mereka yang menerima Om Swastyastu itu semestinya pula memberikan salam jawaban dengan
ucapan Om Swastyastu pula, dengan
sikap anjali menjadi kesatuan lambang
keakraban yang direstui oleh Hyang Widhi. Dalam mengucapkan Om Swastyastu yang utama adalah ekspresi
jiwa dimulai dari gerakan tubuh, bahasa hati yang suci dan tersenyum.
Kata
Swastyastu berhubungan erat dengan
simbol suci agama Hindu yaitu Swastika
yang merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung (Makrokosmos) dan Buana
Alit (Mikrokosmos). Bentuk Swastika
ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan
bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran alam
ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala
dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu
tahun sebelum Masehi (PHDI, 1997).
Dengan
ucapan panganjali Swastyastu sebenarnya kita sudah memohon
perlindungan kepada Sang Hyang Widhi yang menguasai seluruh alam semesta ini
(Pasupati, 2010). Dari bentuk Swastika
itu timbullah bentuk Padma (teratai) yang berdaun bunga delapan (asta dala) yang kita pakai dasar
keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi. Makna pengucapan Om pada awal mendalami mantra Weda
adalah untuk mengarahkan secara benar agar makna kesucian mantra Weda yang
didalami jangan tergelincir sampai salah arah. Sedangkan pengucapan mantra Om saat mengakhiri proses mendalami Weda
dimaksudkan agar kesucian mantra Weda yang sudah dicapai jangan menghilang dan
pendalaman Weda menjadi sia-sia. Pengucapan Omkara
sebagai media penyebutan Hyang Widhi bukanlah untuk Hyang Widhi, melainkan
untuk orang yang menyebut Hyang Widhi agar selalu merasa bahwa Hyang Widhi
sudah mereka puja dengan pengucapan Omkara
(Manawa Dharmasastra dalam Wiana, dkk., 2013).
Omkara adalah lambang aksara suci agama
Hindu untuk memuja dan mengagungkan kemahakuasaan Hyang Widhi (Wiana, dkk.,
2013). Omkara adalah kata ganti nama
kehormatan Hyang Widhi. Pengucapan Om dengan
sikap batin berdoa akan menguatkan eksistensi Atman sebagai sang jiwa menguasai eksistensi kesadaran budhi dan
kecerdasan intelektual mengendalikan kepekaan emosional. Hal tersebut
menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak hanya sekadar bersatu
dan bersahabat untuk membangun kehidupan bersama berdasarkan dharma.
5.
Harmonisasi
Interaksi Sosial melalui Budaya Salam Om
Swastyastu
Dalam
setiap langkah hidup manusia selalu berhubungan atau berinteraksi dengan orang
lain. Alangkah indahnya jagad bumi manusia ini jika dalam interaksinya penuh
dengan tawa riang, penuh dengan tutur sapa yang santun, serta adanya senyum
yang tulus di antara sesama manusia. Setiap langkah dalam kehidupannya berjalan
dengan harmonis sesuai dengan posisi atau kedudukan mereka masing-masing di
dalam sebuah sistem masyarakat.
Setiap
orang tentu menginginkan hal tersebut, hanya saja terkadang terjadi
gesekan-gesekan antara satu orang dengan orang lain dalam interaksinya.
Gesekan-gesekan seringkali disebabkan karena penggunaan tutur bahasa yang tidak
sesuai. Maksud yang baik tetapi jika disampaikan dengan tutur bahasa yang
kurang santun seringkali membuat lawan bicara merasa tersinggung.
Di
sisi lain, proses interaksi juga seringkali terhambat karena penggunaan bahasa
yang berbeda antara satu orang dengan orang lain. Para remaja biasanya dengan
cepat menguasai bahasa gaul yang mereka dengar di televisi sehingga menyebabkan
“ketidaknyambungan” interaksi ketika mereka berinteraksi dengan para orang tua
yang biasanya masih menjaga penggunaan bahasa yang merupakan budaya luhur
leluhur bangsa. Seringkali anak remaja menyapa orang tua ataupun kerabatnya
dengan salam-salam bahasa gaul, serta tidak jarang pula salam yang yang
diucapkan oleh seseorang tidak dibalas karena masih sibuk dengan urusannya.
Hindu
Dharma mengajarkan konsep ‘greeting’ sebagai
etika prolog dalam sebuah pertemuan (memulai sebuah interaksi sosial) berupa
salam Om Swastyastu. Etika salam
persaudaraan Om Swastyastu selain
sebagai sebuah salam juga mengandung ungkapan doa di dalamnya. Sebuah ungkapan
doa dalam membina, memelihara, dan mempererat harmoni persaudaraan dan
pergaulan di masyarakat.
Salam
Om Swastyastu, meskipun ia terkemas
dalam bahasa Sansekerta bahasa pengantar kitab suci Veda, makna yang terkandung
di dalamnya sangatlah universal. Pada hakikatnya semua salam yang muncul dari
komunitas berbagai agama memiliki arti dan makna yang universal. Hal yang membedakan
adalah kemasan bahasanya sebagai ciri khas budayanya. Dengan Om Swastyastu, doa dipanjatkan untuk
keselamatan semua pihak tanpa kecuali.
Dalam
sebuah pertemuan, salam Om Swastyastu mengandung
harapan atau doa agar apa hubungan yang akan dilaksanakan berjalan dengan baik
atas karunia Tuhan. Begitu pula dalam mengawali sebuah kegiatan, doa panganjali ini merupakan sebuah ungkapan
doa agar kegiatan berlangsung dengan baik atas karunia-Nya. Dari hal tersebut,
dapat dilihat bahwa dengan mengucapkan atau membalas salam Om Swastyastu, berarti seseorang dalam hal ini umat Hindu telah
mengingat Tuhan. Setiap langkah yang dilakukan umat Hindu selalu mengingat
Tuhan melalui pengucapan salam.
Dengan
mengucapkan ataupun membalas salam yang diucapkan oleh orang dapat menunjukkan
bentuk perhatian kita terhadap lawan bicara. Seringkali seseorang tak acuh
ketika bertemu dengan orang lain, sehingga di antara mereka tidak ada interaksi
dan canggung untuk melakukan percakapan. Dengan menyapa, sudah mencirikan bahwa
orang tersebut mempunyai respect dan
ingin memulai sebuah percakapan atau suatu hubungan. Demikian pula ketika lawan
bicara telah menjawab salam yang diucapkan, hal tersebut telah menunjukkan
sebuah tanda bahwa satu dengan yang lainnya saling melakukan usaha untuk
menjalin sebuah interaksi yang harmonis.
Om Swastyastu merupakan salam sakral
yang disucikan oleh umat Hindu. Kata Om
yang merupakan kata ganti nama kehormatan Hyang Widhi menunjukkan harapan atau
sebuah doa agar yang mengucapkan salam tersebut mengingat serta selalu dalam
lindungan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Mengucapkan maupun membalas salam
saja sudah dapat menunjukkan suatu bentuk kepedulian seseorang terhadap orang
lain, apalagi jika salam tersebut di dalamnya tersirat sebuah ungkapan doa
kepada Hyang Widhi. Sebuah ungkapan doa agar hubungan yang terjalin berjalan
dengan baik atau sebuah kegiatan berlangsung sesuai dengan yang direncanakan
atas anugrah-Nya.
Berbeda
dengan salam “anak muda” yang sifatnya tidak baku dan dikenal oleh para remaja
saat ini. Salam yang hanya berfungsi untuk menyapa tanpa adanya sebuah ungkapan
doa bahkan seringkali tidak dapat diterima atau dimengerti oleh lawan bicara
yang belum mengetahui salam yang diucapkan tersebut sehingga mengakibatkan
ketersinggungan dari lawan bicara. Salam Om
Swastyastu yang merupakan budaya luhur leluhur bangsa khususya umat Hindu
sudah dikenal oleh seluruh umat dan juga bahkan oleh semua orang di dunia ini
karena sifat salam ini yang universal.
Dengan
sifatnya yang universal, salam ini merupakan salah satu kekayaan umat Hindu
yang dapat dijadikan sebagai identitas kita. Mengucapkan salam panganjali ketika bertemu orang lain dan
dalam sebuah pertemuan menunjukkan jati diri kita sebagai seorang Hindu serta
tidak jarang pula mendapat penilaian sebagai seorang yang berbudi pekerti
luhur. Melalui pengucapan salam ini, menunjukkan diri kita sebagai seseorang
yang beragama. Beragama bukan hanya tertulis di KTP tetapi menunjukkan seorang
Hindu yang mengamalkan ajaran agamanya termasuk salam.
Sebagai
seorang umat Hindu sudah seyogyanya mengamalkan ajaran agamanya termasuk salam panganjali. Jika bukan kita pemeluk
agama tersebut siapa lagi yang akan mengamalkan? Bukan tidak mungkin salam ini
akan dilupakan jika kita tidak mengamalkan dan membiasakan diri untuk
mengucapkan mengingat pula bahwa agama kita adalah agama minoritas di dunia,
Indonesia, dan bahkan di Bali. Mari, kita sebagai umat yang beragama Hindu
mengamalkan ajaran yang maha sempurna ini, karena tanpa kita sadari dalam
mengucapkan salam Om Swastyastu kita
telah melakukan sedikitnya dua kegiatan yang mulia. Pertama, kita menunjukkan
sikap hormat kita terhadap lawan bicara untuk membina hubungan yang harmonis,
serta yang kedua dari salam tersebut kita telah mengingat Hyang Widhi dan
memohon anugrah-Nya dalam setiap langkah yag kita lakukan. Meskipun sederhana,
namun mengawali sesuatu dengan hal yang baik (mengucapkan salam Om Swastyastu), kegiatan selanjutnya astungkara juga akan berlangsung dengan
baik dan menghasilkan hal baik pula.
6.
Penutup
Alangkah
indahnya jagad bumi manusia ini jika dalam interaksinya penuh dengan tawa
riang, penuh dengan tutur sapa yang santun, serta adanya senyum yang tulus di
antara sesama manusia. Setiap langkah dalam kehidupannya berjalan dengan
harmonis sesuai dengan posisi atau kedudukan mereka masing-masing di dalam
sebuah sistem masyarakat. Namun, dalam interaksinya terkadang terjadi
gesekan-gesekan antara satu orang dengan orang lain yang seringkali disebabkan
karena penggunaan tutur bahasa yang tidak sesuai. Maksud yang baik tetapi jika
disampaikan dengan tutur bahasa yang kurang santun seringkali membuat lawan
bicara merasa tersinggung.
Para
remaja biasanya dengan cepat menguasai bahasa gaul yang mereka dengar di
televisi sehingga menyebabkan “ketidaknyambungan” interaksi ketika mereka berinteraksi
dengan para orang tua yang biasanya masih menjaga penggunaan bahasa yang
merupakan budaya luhur leluhur bangsa. Hindu Dharma mengajarkan konsep ‘greeting’ dalam memulai sebuah interaksi
sosial berupa salam Om Swastyastu. Etika
salam persaudaraan Om Swastyastu selain
sebagai sebuah salam juga mengandung ungkapan doa dalam membina, memelihara,
dan mempererat harmoni persaudaraan dan pergaulan di masyarakat.
Dengan
mengucapkan atau membalas salam Om
Swastyastu, berarti seseorang dalam hal ini umat Hindu telah mengingat
Tuhan. Setiap langkah yang dilakukan umat Hindu selalu mengingat Tuhan melalui
pengucapan salam. Dengan mengucapkan ataupun membalas salam yang diucapkan oleh
orang dapat menunjukkan bentuk perhatian kita terhadap lawan bicara. Demikian
pula ketika lawan bicara telah menjawab salam yang diucapkan, hal tersebut
telah menunjukkan sebuah tanda bahwa satu dengan yang lainnya saling melakukan
usaha untuk menjalin sebuah interaksi yang harmonis.
Mengucapkan
maupun membalas salam saja sudah dapat menunjukkan suatu bentuk kepedulian
seseorang terhadap orang lain, apalagi jika salam tersebut di dalamnya tersirat
sebuah ungkapan doa kepada Hyang Widhi. Sebuah ungkapan doa agar hubungan yang
terjalin berjalan dengan baik atau sebuah kegiatan berlangsung sesuai dengan
yang direncanakan atas anugrah-Nya. Dalam mengucapkan salam Om Swastyastu kita telah melakukan
sedikitnya dua kegiatan yang mulia. Pertama, kita menunjukkan sikap hormat kita
terhadap lawan bicara untuk membina hubungan yang harmonis, serta yang kedua
dari salam tersebut kita telah mengingat Hyang Widhi dan memohon anugrah-Nya
dalam setiap langkah yag kita lakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1977. Upadeca. Jakarta: Parisada Hindu Dharma
Indonesia.
Pasupati, Umaseh.
2010. “Om Swastiastu - Salam
Sekaligus Doa”. Tersedia pada: http://cakepane.blogspot.com. Diakses 27
Maret 2014.
Samba, I Gede. 2013. Pencarian ke Dalam Diri: Merajut Ulang
Budaya Luhur Bangsa. Bandung: Yayasan Dajan Rurung Indonesia.
Sudarma, I Wayan.
2010. “Makna Universal Om Swastyastu”.
Tersedia pada: http://dharmavada.wordpress.com. Diakses,
27 Maret 2014.
Koentjaraningrat. 2009.
Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Tanti. 2012. “Manusia
sebagai Makhluk Individu dan Sosial”. Tersedia pada: http://manusiabudaya.blogspot.com.
Diakses, 28 Maret 2014.
Wiana, I Ketut, dkk.,
2013. Swastikarana. Jakarta: Parisada
Hindu Dharma Indonesia.
Wulan, Bertha. 2013. ‘Hubungan
Antar Manusia (Human Relation)”.
Tersedia pada: http://beequinn.wordpress.com.
Diakses, 28 Maret 2014.
Zein, Sasa. 2012.
“Pengertian Interaksi Sosial dan Syarat”. Tersedia pada: http://bangkusekolah-id.blogspot.com.
Diakses, 27 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar