Jumat, 13 Juni 2014

Artikel Kopseptual: om swastyastu

HARMONISASI INTERAKSI SOSIAL MELALUI BUDAYA SALAM OM SWASTYASTU

Oleh
Ni Luh Sadewi Widyani

Abstrak
            Manusia adalah makhluk individu sekaligus mahkluk sosial (soon politicon) dalam hubungannya dengan sesama manusia dan sebagai salah satu penghuni bumi ciptaan Tuhan. Manusia selalu berusaha untuk menjalin interaksi yang harmonis dengan makhluk lain dan alam sekitarnya. Namun kadangkala dalam interaksinya terjadi gesekan-gesekan yang dapat mengakibatkan adanya konflik. Salah satu faktor penyebab ketidakharmonisan hubungan tersebut dapat disebabkan oleh penggunaan bahasa yang digunakan baik itu ketika menyapa ataupun ketika berinteraksi. Seringkali manusia khususnya para remaja menggunakan bahasa gaul dalam menyapa lawan bicaranya sehingga menunjukkan kesan pertama yang tidak sesuai. Dalam usaha untuk menjalin interaksi yang harmonis, manusia menciptakan kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Kebudayaan yang dimiliki Indonesia sangat berlimpah adanya yang mana hal tersebut merupakan kekayaan yang dimiliki Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara lain di dunia. Salah satu kebudayaan yang merupakan budaya luhur leluhur bangsa Indonesia adalah budaya salam. Budaya salam sebagai sebuah ungkapan kepedulian akan kehadiran seseorang merupakan kekayaan Indonesia sebagai bagian dari kehidupan beragama manusia. Salam yang dimiliki umat Hindu salah satunya yang digunakan ketika seseorang bertemu dengan orang lain ataupun dalam sebuah pertemuan adalah salam panganjali Om Swastyastu. Dalam salam Om Swastyastu, selain sebagai sebuah salam untuk mengungkapkan kepedulian terhadap kehadiran seseorang juga tersirat sebuah ungkapan doa agar pertemuan yang dilakukan selalu dalam keadaan baik atas karunia-Nya.

Kata-kata kunci: Interaksi sosial, budaya salam, om swastyastu


1.        Pendahuluan
            Sudah menjadi pemahaman umum, bahwa manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial (soon politicon) dalam hubungannya dengan sesama manusia dan sebagai salah satu penghuni bumi ciptaan Tuhan (Wiana, dkk., 2013). Situasi kehidupan yang seperti itu menyadarkan manusia bahwa pada hakikatnya selain menjadi individu yang tidak bisa diganggu gugat, manusia juga berinteraksi dengan makhluk dan alam sekitarnya. Salah satu ciri manusia sebagai makhluk sosial adalah hidup bersama dalam interaksi sosialnya. Maksud dari hidup bersama di sini bukan hanya sekadar hidup berkerumun membentuk kelompok tetapi hidup dalam suatu sistem yang sesuai untuk memadukan berbagai potensi yang ada dalam rangka mencapai tujuan bersama.
            Untuk mencapai tujuan bersama dalam suatu sistem diperlukan adanya suatu interaksi atau hubungan baik secara vertikal maupun horizontal. Dalam interaksinya, manusia akan membentuk berbagai jenis kebudayaan termasuk di dalamnya budaya beragama. Salah satu agama yang berkembang di Bali adalah agama Hindu. Agama Hindu merupakan sebuah agama yang awalnya dijumpai di sebuah wilayah Hindustan (India Barat). Menurut Samba (2013:134), dalam perjalanannya yang sangat panjang budaya Hindu berakulturasi dengan budaya-budaya lokal yang dilewatinya. Budaya Hindu selalu mengadaptasikan dirinya dengan perkembangan dan kemampuan nalar manusia, berubah sepanjang zaman, menyesuaikan diri dan mengadaptasikan budaya-budaya luhur setempat yang lebih dahulu ada. Hal tersebut mengakibatkan pelaksanaan atau pengamalan agama Hindu di India berbeda dengan di daerah nusantara Indonesia termasuk pula di Bali.
            Salah satu kebudayaan Hindu yang erat kaitannya dengan proses interaksi satu individu dengan yang lainnya di Bali adalah budaya salam. Umat Hindu mengajarkan etika salam persaudaraan yang disebut panganjali umat atau sudha wakya dengan ucapan maharasa Om Swastyastu yang dipergunakan masyarakat ketika bertemu dengan orang lain ataupun saat mengawali suatu kegiatan, dalam berbagai pertemuan. Salam tersebut diucapkan tidaklah sekadar sebagai salam biasa, tetapi dibarengi pula dengan ungkapan doa.
Sebagai sebuah kebudayaan yang telah ada sejak lama, seyogyanya budaya salam tersebut dapat kita lestarikan. Namun, pada kenyataannya pelestarian budaya salam tersebut semakin hari semakin mengalami penurunan. Tidak jarang masyarakat “acuh tak acuh” ketika mendengar salam Om Swastyastu dari orang lain pada sebuah pertemuan. Sangat disayangkan jika umat Hindu mau membalas salam dari agama lain dengan penuh semangat tetapi ketika mendengar salam agama sendiri seringkali tidak dihiraukan. Kasus lain yang terjadi adalah telah tergantikannya salam Om Swastyastu dengan salam-salam yang tidak baku atau bersifat “gaul” khususnya di kalangan remaja seperti kata “Hi Bro, What’s up Bro?”, “Hi Guys”, “Hi Cuy”, dan masih banyak salam lainnya yang menjamur di negeri ini. Salam-salam tersebut menyebar begitu cepat menggeser salam Om Swastyastu yang sejak lama menjadi kebudayaan umat Hindu.
Lunturnya budaya salam tersebut sangat disayangkan mengingat selain sebagai ucapan salam, Om Swastyastu juga mengandung unsur sakral yang di dalamnya terdapat ungkapan doa agar pertemuan yang dilakukan selalu dianugrahi oleh-Nya. Sikap “acuh tak acuh” seseorang terhadap orang lain yang menyapanya hendaknya dihilangkan melalui penanaman sikap moral kepada umat Hindu di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya.
           
2.        Hubungan antar Manusia
Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu (Tanti, 2012). Sedangkan  Bonner (dalam Wulan, 2013), hubungan atau interaksi antar manusia adalah hubungan antara dua atau lebih individu manusia dan perilaku individu yang satu mempengaruhi, mengubah, dan memperbaiki perilaku individu lain atau sebaliknya. Dalam interaksi juga terdapat symbol yang diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang menggunakannya. Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama dari terjadinya hubungan sosial Komunikasi merupakan penyampaian suatu informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang disampaikan.
Menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack (dalam Zein, 2012), interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis dan menyangkut hubungan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Interaksi sosial dapat terjadi apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a.    Adanya kontak sosial (social contact)
Kontak berasal dari kata Con atau Cun yang berarti bersama-sama, dan Tango yang artinya menyentuh. Jadi, secara harfiah kontak berarti saling menyentuh. Dalam sosiologi kontak tidak hanya bersentuhan fisik saja, kadang-kadang bias terjadi tanpa fisik, misalnya berbicara melalui telepon, menulis surat, dan internet. Kontak hanya dapat berlangsung apabila kedua belah pihak sadar akan kedudukan atau kondisi masing-masing. Untuk itu kontak memerlukan kerja sama dengan orang lain. Di era globalisasi kontak dapat berlangsung dengan mudah dan cepat, karena adanya kemajuan teknologi yang makin canggih. Misalnya dengan adanya internet, HP, telepon, telegram, dan email.
Kontak sosial dapat dibedakan sebagai berikut.
1)      Berdasarkan bentuk (wujud)
Berdasarkan bentuknya kontak dapat dibedakan menjadi berikut ini.
1)      Kontak antara individu dengan individu Contoh: Kontak antara guru dengan guru, orang tua dengan anaknya, siswa dengan siswa lain, penjual dengan pembeli.
2)      Kontak antara individu dengan kelompok Contoh: Guru dengan murid-muridnya di kelas, penceramah dengan peserta seminar.
3)      Kontak antara kelompok dengan kelompok Contoh: Pertandingan sepak bola antara dua tim kesebelasan, pertandingan bola voli antara dua tim bola voli.
2)      Berdasarkan cara
Berdasarkan caranya kontak dibedakan menjadi dua, yaitu berikut ini.
1)      Kontak langsung (primer), Kontak langsung yaitu hubungan timbal balik yang terjadi secara langsung, contoh: berbicara, berjabat tangan, tersenyum, dan bahasa isyarat.
2)      Kontak tidak langsung (sekunder), Kontak tidak langsung (sekunder) yaitu hubungan timbal balik yang yang memerlukan perantara (media). Perantara/media yang digunakan dalam kontak sekunder bisa berupa benda misalnya, telepon, TV, radio, HP, surat, dan telegram atau bisa juga menggunakan manusia, misalnya seorang pemuda meminang seorang gadis melalui orang lain.
3)      Berdasarkan sifatnya
Berdasarkan sifatnya kontak sosial ada dua macam, yaitu berikut ini.
1)      Kontak positif yaitu kontak sosial yang mengarah kepada suatu kerja sama, misalnya kontak antara pedagang dengan pembeli.
2)      Kontak negatif yaitu kontak sosial yang mengarah kepada suatu pertentangan, misalnya kontak senjata antara dua negara yang sedang berperang.


b.    Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan (ide atau gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling memengaruhi di antara keduanya. Komunikasi dibedakan menjadi dua, yaitu berikut ini.
a.       Komunikasi lisan (verbal), yaitu komunikasi dengan menggunakan kata-kata (verbal) yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Contoh: berbicara langsung dan melalui telepon.
b.      Komunikasi nonverbal (isyarat), yaitu komunikasi dengan menggunakan gerak-gerik badan, bahasa isyarat, atau menunjukkan sikap tertentu. Contoh: menggelengkan kepala, mengangkat bahu, dan melambaikan tangan.

Komunikasi dapat berlangsung apabila memenuhi syarat sebagai berikut.
a.       Ada pengirim (sender) yaitu pihak yang mengirimkan pesan kepada pihak lain.
b.      Penerima atau komunikasi (receiver) yaitu pihak yang menerima pesan dari pihak lain.
c.       Pesan (message) adalah isi atau maksud yang akan disampaikan oleh setiap pihak kepada pihak lain.
d.      Umpan balik (feed back) adalah tanggapan dari penerima pesan atau isi pesan yang disampaikannya.

Suatu kontak bisa terjadi tanpa komunikasi, jika terjadi kontak tanpa komunikasi maka tidak akan terjadi interaksi sosial. Misalnya, orang Jawa bertemu dengan orang Batak, orang Jawa menyapa dengan bahasa Jawa, padahal orang Batak tidak mengerti bahasa Jawa, maka komunikasi tidak akan terjadi. Komunikasi dapat berdampak positif jika masing-masing dapat menafsirkan apa yang dimaksud. Komunikasi juga bisa berdampak tidak baik apabila salah satu pihak tidak dapat menafsirkan maksud pihak lain.

3.        Budaya Salam
Kata “Kebudayaan” berasal dari kata sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain yang menghapus kata budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budidaya, yang berarti “daya dan budi”.  Karena itu mereka membedakan “budaya” adalah “daya dan budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa itu.
Kata culture merupakan kata asing yang sama artinya dengan “kebudayaan”. Berasal dari kata Latin Colere yang berarti “mengolah, mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam (Koentjaraningrat, 2009:146). Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Indonesia sebagai negara kepulauan patutlah berbangga karena memiliki berbagai macam kebudayaan yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Kekayaan yang dimiliki Indonesia dalam bentuk kebudayaan merupakan sesuatu yang sangat mahal harganya bagi negara-negara lain di dunia. Menurut Samba (2013), budaya luhur leluhur bangsa ini sangatlah berlimpah adanya, budaya yang sangat menghargai seni dan keindaham, budaya yang sangat menghargai kesejukan dan kedamaian, budaya yang sangat menghargai kehidupan dan cinta kasih, serta budaya yang menjunjung tinggi perbedaan dan keberagaman, toleransi dan keadilan. Salah satu budaya yang dimiliki oleh Indonesia adalah budaya salam yang diucapkan oleh seseorang kepada orang lain dalam interaksinya.
Salam adalah cara bagi seseorang (juga binatang) untuk secara sengaja mengkomunikasikan kesadaran akan kehadiran orang lain, untuk menunjukkan perhatian, dan/atau untuk menegaskan atau menyarankan jenis hubungan atau status sosial antar individu atau kelompok orang yang berhubungan satu sama lain. Seperti juga cara komunikasi lain, salam juga sangat dipengaruhi budaya dan situasi dan dapat berubah akibat status dan hubungan sosial. Salam dapat diekspresikan melalui ucapan dan gerakan, atau gabungan dari keduanya. Salam sering, tapi tidak selalu, diikuti oleh percakapan.

4.        Makna Salam Om Swastyastu
Om Swastyastu merupakan salah satu salam (ucapan selamat jumpa) yang digunakan oleh umat Hindu. Salam ini biasanya diucapkan ketika membuka sebuah kegiatan ataupun ketika bertemu dengan seseorang (berkunjung ke rumah orang lain). Secara etimologis, salam maharasa Om Swastyastu berasal dari kata ‘OM’ yang artinya Hyang Widhi, ‘SU’ yang artinya baik, ‘ASTI’ yang artinya ada, dan ‘ASTU’ yang artinya semoga. Jadi Om Swastyastu berarti semoga selamat atas wara nugraha Hyang Widhi (Wiana, dkk., 2013:236). Menurut Kamus Bahasa Bali, kata “Swastyastu” berasal dari kata suasti, yang berarti selamat, menjadi Suastiastu yang berarti semoga selamat.  Kalimat tersebut mengandung makna untuk saling mendoakan satu sama lain agar pertemuan yang terjadi selalu dikaruniai oleh Hyang Widhi.
Berbeda dengan di Bali, umat Hindu di India umumnya mengucapkan salam Om Namaskara ketika bertemu dengan orang lain. Salam tersebut juga berarti hormat kepada sesama atas wara nugraha Hyang Widhi. Meskipun salam atau sudha wakya umat Hindu di Bali dan di India berbeda, namun makna yang terkandung di dalamnya mempunyai arah yang sama. Nilai universal Weda harus diterapkan dengan kemasan budaya lokal sehingga Weda selalu menghormati kearifan lokal yang adi luhung sejalan dengan intisari ajaran Weda.
Menurut Wiana, dkk. (2013), Om Swastyastu ataupun Om Namaskara di India, salam keakraban tersebut merupakan salah satu media untuk membangun pergaulan yang disebut satsangga (pergaulan berdasarkan Weda) dan menjauhi pergaulan Dursangga (pergaulan yang bertentangan dengan Weda). Om Swastyastu kalau dimaknai dengan sungguh-sungguh akan membawa umat harmonis dengan dirinya sendiri sebagai makhluk individu dan harmonis dengan sesamanya sebagai makhluk sosial.
Dalam pengucapan salam Om Swastyastu diikuti dengan sikap tangan anjali (cakupan kedua telapak tagan di depan dada dengan ujung jari merapat menjulur lembut ke atas), sehingga salam ini juga dikenal dengan nama salam panganjali (Sudarma, 2010). Namun, jika keadaan tidak memungkinkan, sikap ini boleh tidak dilakukan. Satu hal yang penting adalah ucapan atau sudha wakya Om Swastyastu diucapkan dengan hati yang tulus. Mereka yang menerima Om Swastyastu itu semestinya pula memberikan salam jawaban dengan ucapan Om Swastyastu pula, dengan sikap anjali menjadi kesatuan lambang keakraban yang direstui oleh Hyang Widhi. Dalam mengucapkan Om Swastyastu yang utama adalah ekspresi jiwa dimulai dari gerakan tubuh, bahasa hati yang suci dan tersenyum.
Kata Swastyastu berhubungan erat dengan simbol suci agama Hindu yaitu Swastika yang merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung (Makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Bentuk Swastika ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran alam ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu tahun sebelum Masehi (PHDI, 1997).
Dengan ucapan panganjali Swastyastu sebenarnya kita sudah memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widhi yang menguasai seluruh alam semesta ini (Pasupati, 2010). Dari bentuk Swastika itu timbullah bentuk Padma (teratai) yang berdaun bunga delapan (asta dala) yang kita pakai dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi. Makna pengucapan Om pada awal mendalami mantra Weda adalah untuk mengarahkan secara benar agar makna kesucian mantra Weda yang didalami jangan tergelincir sampai salah arah. Sedangkan pengucapan mantra Om saat mengakhiri proses mendalami Weda dimaksudkan agar kesucian mantra Weda yang sudah dicapai jangan menghilang dan pendalaman Weda menjadi sia-sia. Pengucapan Omkara sebagai media penyebutan Hyang Widhi bukanlah untuk Hyang Widhi, melainkan untuk orang yang menyebut Hyang Widhi agar selalu merasa bahwa Hyang Widhi sudah mereka puja dengan pengucapan Omkara (Manawa Dharmasastra dalam Wiana, dkk., 2013).
Omkara adalah lambang aksara suci agama Hindu untuk memuja dan mengagungkan kemahakuasaan Hyang Widhi (Wiana, dkk., 2013). Omkara adalah kata ganti nama kehormatan Hyang Widhi. Pengucapan Om dengan sikap batin berdoa akan menguatkan eksistensi Atman sebagai sang jiwa menguasai eksistensi kesadaran budhi dan kecerdasan intelektual mengendalikan kepekaan emosional. Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak hanya sekadar bersatu dan bersahabat untuk membangun kehidupan bersama berdasarkan dharma.

5.        Harmonisasi Interaksi Sosial melalui Budaya Salam Om Swastyastu
Dalam setiap langkah hidup manusia selalu berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain. Alangkah indahnya jagad bumi manusia ini jika dalam interaksinya penuh dengan tawa riang, penuh dengan tutur sapa yang santun, serta adanya senyum yang tulus di antara sesama manusia. Setiap langkah dalam kehidupannya berjalan dengan harmonis sesuai dengan posisi atau kedudukan mereka masing-masing di dalam sebuah sistem masyarakat.
Setiap orang tentu menginginkan hal tersebut, hanya saja terkadang terjadi gesekan-gesekan antara satu orang dengan orang lain dalam interaksinya. Gesekan-gesekan seringkali disebabkan karena penggunaan tutur bahasa yang tidak sesuai. Maksud yang baik tetapi jika disampaikan dengan tutur bahasa yang kurang santun seringkali membuat lawan bicara merasa tersinggung.
Di sisi lain, proses interaksi juga seringkali terhambat karena penggunaan bahasa yang berbeda antara satu orang dengan orang lain. Para remaja biasanya dengan cepat menguasai bahasa gaul yang mereka dengar di televisi sehingga menyebabkan “ketidaknyambungan” interaksi ketika mereka berinteraksi dengan para orang tua yang biasanya masih menjaga penggunaan bahasa yang merupakan budaya luhur leluhur bangsa. Seringkali anak remaja menyapa orang tua ataupun kerabatnya dengan salam-salam bahasa gaul, serta tidak jarang pula salam yang yang diucapkan oleh seseorang tidak dibalas karena masih sibuk dengan urusannya.
Hindu Dharma mengajarkan konsep ‘greeting’ sebagai etika prolog dalam sebuah pertemuan (memulai sebuah interaksi sosial) berupa salam Om Swastyastu. Etika salam persaudaraan Om Swastyastu selain sebagai sebuah salam juga mengandung ungkapan doa di dalamnya. Sebuah ungkapan doa dalam membina, memelihara, dan mempererat harmoni persaudaraan dan pergaulan di masyarakat.
Salam Om Swastyastu, meskipun ia terkemas dalam bahasa Sansekerta bahasa pengantar kitab suci Veda, makna yang terkandung di dalamnya sangatlah universal. Pada hakikatnya semua salam yang muncul dari komunitas berbagai agama memiliki arti dan makna yang universal. Hal yang membedakan adalah kemasan bahasanya sebagai ciri khas budayanya. Dengan Om Swastyastu, doa dipanjatkan untuk keselamatan semua pihak tanpa kecuali.
Dalam sebuah pertemuan, salam Om Swastyastu mengandung harapan atau doa agar apa hubungan yang akan dilaksanakan berjalan dengan baik atas karunia Tuhan. Begitu pula dalam mengawali sebuah kegiatan, doa panganjali ini merupakan sebuah ungkapan doa agar kegiatan berlangsung dengan baik atas karunia-Nya. Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa dengan mengucapkan atau membalas salam Om Swastyastu, berarti seseorang dalam hal ini umat Hindu telah mengingat Tuhan. Setiap langkah yang dilakukan umat Hindu selalu mengingat Tuhan melalui pengucapan salam.
Dengan mengucapkan ataupun membalas salam yang diucapkan oleh orang dapat menunjukkan bentuk perhatian kita terhadap lawan bicara. Seringkali seseorang tak acuh ketika bertemu dengan orang lain, sehingga di antara mereka tidak ada interaksi dan canggung untuk melakukan percakapan. Dengan menyapa, sudah mencirikan bahwa orang tersebut mempunyai respect dan ingin memulai sebuah percakapan atau suatu hubungan. Demikian pula ketika lawan bicara telah menjawab salam yang diucapkan, hal tersebut telah menunjukkan sebuah tanda bahwa satu dengan yang lainnya saling melakukan usaha untuk menjalin sebuah interaksi yang harmonis.
Om Swastyastu merupakan salam sakral yang disucikan oleh umat Hindu. Kata Om yang merupakan kata ganti nama kehormatan Hyang Widhi menunjukkan harapan atau sebuah doa agar yang mengucapkan salam tersebut mengingat serta selalu dalam lindungan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Mengucapkan maupun membalas salam saja sudah dapat menunjukkan suatu bentuk kepedulian seseorang terhadap orang lain, apalagi jika salam tersebut di dalamnya tersirat sebuah ungkapan doa kepada Hyang Widhi. Sebuah ungkapan doa agar hubungan yang terjalin berjalan dengan baik atau sebuah kegiatan berlangsung sesuai dengan yang direncanakan atas anugrah-Nya.
Berbeda dengan salam “anak muda” yang sifatnya tidak baku dan dikenal oleh para remaja saat ini. Salam yang hanya berfungsi untuk menyapa tanpa adanya sebuah ungkapan doa bahkan seringkali tidak dapat diterima atau dimengerti oleh lawan bicara yang belum mengetahui salam yang diucapkan tersebut sehingga mengakibatkan ketersinggungan dari lawan bicara. Salam Om Swastyastu yang merupakan budaya luhur leluhur bangsa khususya umat Hindu sudah dikenal oleh seluruh umat dan juga bahkan oleh semua orang di dunia ini karena sifat salam ini yang universal.
Dengan sifatnya yang universal, salam ini merupakan salah satu kekayaan umat Hindu yang dapat dijadikan sebagai identitas kita. Mengucapkan salam panganjali ketika bertemu orang lain dan dalam sebuah pertemuan menunjukkan jati diri kita sebagai seorang Hindu serta tidak jarang pula mendapat penilaian sebagai seorang yang berbudi pekerti luhur. Melalui pengucapan salam ini, menunjukkan diri kita sebagai seseorang yang beragama. Beragama bukan hanya tertulis di KTP tetapi menunjukkan seorang Hindu yang mengamalkan ajaran agamanya termasuk salam.
Sebagai seorang umat Hindu sudah seyogyanya mengamalkan ajaran agamanya termasuk salam panganjali. Jika bukan kita pemeluk agama tersebut siapa lagi yang akan mengamalkan? Bukan tidak mungkin salam ini akan dilupakan jika kita tidak mengamalkan dan membiasakan diri untuk mengucapkan mengingat pula bahwa agama kita adalah agama minoritas di dunia, Indonesia, dan bahkan di Bali. Mari, kita sebagai umat yang beragama Hindu mengamalkan ajaran yang maha sempurna ini, karena tanpa kita sadari dalam mengucapkan salam Om Swastyastu kita telah melakukan sedikitnya dua kegiatan yang mulia. Pertama, kita menunjukkan sikap hormat kita terhadap lawan bicara untuk membina hubungan yang harmonis, serta yang kedua dari salam tersebut kita telah mengingat Hyang Widhi dan memohon anugrah-Nya dalam setiap langkah yag kita lakukan. Meskipun sederhana, namun mengawali sesuatu dengan hal yang baik (mengucapkan salam Om Swastyastu), kegiatan selanjutnya astungkara juga akan berlangsung dengan baik dan menghasilkan hal baik pula.

6.        Penutup
Alangkah indahnya jagad bumi manusia ini jika dalam interaksinya penuh dengan tawa riang, penuh dengan tutur sapa yang santun, serta adanya senyum yang tulus di antara sesama manusia. Setiap langkah dalam kehidupannya berjalan dengan harmonis sesuai dengan posisi atau kedudukan mereka masing-masing di dalam sebuah sistem masyarakat. Namun, dalam interaksinya terkadang terjadi gesekan-gesekan antara satu orang dengan orang lain yang seringkali disebabkan karena penggunaan tutur bahasa yang tidak sesuai. Maksud yang baik tetapi jika disampaikan dengan tutur bahasa yang kurang santun seringkali membuat lawan bicara merasa tersinggung.
Para remaja biasanya dengan cepat menguasai bahasa gaul yang mereka dengar di televisi sehingga menyebabkan “ketidaknyambungan” interaksi ketika mereka berinteraksi dengan para orang tua yang biasanya masih menjaga penggunaan bahasa yang merupakan budaya luhur leluhur bangsa. Hindu Dharma mengajarkan konsep ‘greeting’ dalam memulai sebuah interaksi sosial berupa salam Om Swastyastu. Etika salam persaudaraan Om Swastyastu selain sebagai sebuah salam juga mengandung ungkapan doa dalam membina, memelihara, dan mempererat harmoni persaudaraan dan pergaulan di masyarakat.
Dengan mengucapkan atau membalas salam Om Swastyastu, berarti seseorang dalam hal ini umat Hindu telah mengingat Tuhan. Setiap langkah yang dilakukan umat Hindu selalu mengingat Tuhan melalui pengucapan salam. Dengan mengucapkan ataupun membalas salam yang diucapkan oleh orang dapat menunjukkan bentuk perhatian kita terhadap lawan bicara. Demikian pula ketika lawan bicara telah menjawab salam yang diucapkan, hal tersebut telah menunjukkan sebuah tanda bahwa satu dengan yang lainnya saling melakukan usaha untuk menjalin sebuah interaksi yang harmonis.
Mengucapkan maupun membalas salam saja sudah dapat menunjukkan suatu bentuk kepedulian seseorang terhadap orang lain, apalagi jika salam tersebut di dalamnya tersirat sebuah ungkapan doa kepada Hyang Widhi. Sebuah ungkapan doa agar hubungan yang terjalin berjalan dengan baik atau sebuah kegiatan berlangsung sesuai dengan yang direncanakan atas anugrah-Nya. Dalam mengucapkan salam Om Swastyastu kita telah melakukan sedikitnya dua kegiatan yang mulia. Pertama, kita menunjukkan sikap hormat kita terhadap lawan bicara untuk membina hubungan yang harmonis, serta yang kedua dari salam tersebut kita telah mengingat Hyang Widhi dan memohon anugrah-Nya dalam setiap langkah yag kita lakukan.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1977. Upadeca. Jakarta: Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Pasupati, Umaseh. 2010. “Om Swastiastu - Salam Sekaligus Doa”. Tersedia pada: http://cakepane.blogspot.com. Diakses 27 Maret 2014.
Samba, I Gede. 2013. Pencarian ke Dalam Diri: Merajut Ulang Budaya Luhur Bangsa. Bandung: Yayasan Dajan Rurung Indonesia.
Sudarma, I Wayan. 2010. “Makna Universal Om Swastyastu”. Tersedia pada: http://dharmavada.wordpress.com. Diakses, 27 Maret 2014.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Tanti. 2012. “Manusia sebagai Makhluk Individu dan Sosial”. Tersedia pada: http://manusiabudaya.blogspot.com. Diakses, 28 Maret 2014.
Wiana, I Ketut, dkk., 2013. Swastikarana. Jakarta: Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Wulan, Bertha. 2013. ‘Hubungan Antar Manusia (Human Relation)”. Tersedia pada: http://beequinn.wordpress.com. Diakses, 28 Maret 2014.

Zein, Sasa. 2012. “Pengertian Interaksi Sosial dan Syarat”. Tersedia pada: http://bangkusekolah-id.blogspot.com. Diakses, 27 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar